Kamis, 15 November 2012


 Kemerdekaan untuk Mahasiswa

            Mahasiswa adalah seorang pemuda yang mengalami proses belajar  dari suatu pendidikan tinggkat lanjut. Tetapi pertanggung jawaban seorang mahasiswa tidak hanya sebatas untuk itu(belajar, memperoleh nilai baik, dapat juara atau piala) yaitu tanggung jawab terhadap dirinya , jauh dari itu semua, seorang mahasiswa mempunyai tanggung jawab kepada sesamanya yaitu pada masyarakat sekitar dan bahkan pada bangsa hingga dedikasinya kepada  kemaslahatan umat.
          Seharusnya dengan adanya kemerdekaan yang sekarang ini mahasiswa lebih mudah bergerak, namun bukannya seperti cita-cita ideal yang di harapkan( dedikasinya kepada kemaslahatan umat) mahasiswa justru menjadi budak materialisme, bagaimana mereka sibuk berganti-ganti prangkat teknologi dengan alih-alih mengikuti perkembangan sedangkan dipinggiran trotoar jalan banya anak-anak yang belum mengecam pendidikan. Bagaimana mereka sibuk mempercantik diri setiap hari dalam perbudakan kapitalisme tanpa melihat sekitarnya bagaimana orang-orang kelaparan mencari makan setiap harinya.
Mahasiswa indonesia saat ini sangat beragam dari banyak pandangan serta pendapat apabila melihat dari karakter aktivitas organisasinya. Namun sebenarnya mahasiswa Indonesia saat ini kebanyakan dalam menjalankan aktifitas organisasinya terutama organisasi ekstra kampus masih terlihat terjebak dalam patronisme agamanya, golongannya, stigma ideologinya hingga sentimen kedaerahannya. Tak ayal, hal itu cukup membuat repot mahasiswa Indonesia untuk bersatu dalam satu barisan yang sama apabila dihadapkan kepada persolan integrasi gerakan. Ada organisasi ekstra mahasiswa yang berhaluan ideologi islam, kristen, budha, katolik, hindu hingga yang afiliasinya kepada ormas agama besar yang ada di Indonesia. Ada organisasi mahasiswa ekstra kampus yang berhaluan (bahkan bisa disebut sebagai underbow) partai politik atau senioritas figur alumninya. Ada organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bersifat kedaerahan, bahkan ada yang organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bersifat momentum jangka pendek tidak lebih sekedar sebagai basis massa yang mempunyai kepentingan politis tentunya dibuat untuk menopang kepentingan orang seorang maupun segolongan yang memerlukan bargainning political. Diluar semua itu, ada kategori mahasiswa yang murni memposisikan dirinya dalam berorganisasi secara murni dan tanpa ideologi yang kebanyakan lebih menyukai terlibat aktivitas organisasi intra kampus.
Lalu apa yang bisa menyatukan semua tipe atau karakter mahasiswa saat ini? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab. Dan harus kita cari irisan tengahnya yang mampu menjadi pemersatu dan penawar dari sekian banyak warna, bentuk dan kepentingan yang ada saat ini di tingkatan gerakan mahasiswa. Jawabanya adalah mahasiswa yang berorganisasi mengikuti nalar intelektualnya tanpa bertendensi kepada kepentingan golongan, agama hingga sentimen kedaerahan, membangun metoda organisasi secara lebih kekeluargaan namun modern tersistematis, dan mengedepankan aktivitas gerakannya di daerah pedesaan dan masyarakat urban (Bukan berarti kampus ditinggalkan). Melakukan kegiatan-kegiatan yang menjadi pokok kebutuhan masyarakat yaitu pendidikan dan advokasi/paralegal. Disinilah sebenarnya letak peran kaum intelektual sesungguhnya, dialektika yang sebenarnya. Sudah saatnya mahasiswa bergerak dan berhimpun ke desa-desa. Membangun kekuatan civil society yang bercorak kerakyatan. Dan semua itu harus dibangun dalam semangat kerakyatan yang dikerjakan oleh mahasiswa-mahasiswa supel, energik, bersemangat, kapabel, tak mudah menyerah, ikhlas berjuang dan berpendirian teguh.
Mahasiswa pada saat ini merupakan harapan terbesar bagi masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat terutama sebagai perubahan di masyarakat (Agen social of cahange). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan keumatan ke arah berkeadaban.
Keterlibatan mahasiswa dalam setiap perubahan tatanan kenegaraan selama ini sudah menjadi jargon dan pilar utama terjaminnya sebuah tatanan kenegaraan yang demokratis. Romantisme politis antara mahasiswa dengan rakyat terlihat sebagai fungsinya sebagai social control termasuk terhadap kebijakan menindas.
Mahasiswa dalam hal ini sudah menunjukkan diri sebagai salah satu potensi yang dapat diandalkan dalam upaya menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dan distribusinya baik secara kualitas maupun kuantitas dalam segala aspek kehidupan sosial sudah semestinya diperhitungkan.
Bentuk keberhasilan dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berkeadaban di Indonesia adalah dengan semakin kecilnya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, peningkatan taraf ekonomi dan pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, itu semua hanya akan menjadi mimpi belaka manakala semua konsep-konsep yang dibangun dan berbasis kerakyatan tersebut tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan jitu ke arah tujuan tersebut. Dan maksimalisasi fungsi mahasiswa dan kaum muda dalam tiap laju demokratisasi merupakan salah satu pilar utama yang perlu diperhatikan.
Sekali lagi, peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sosial ditunggu. Diharapkan mahasiswa mampu memainkan peran yang strategis. Kesatuan visi, tekad, dan perjuangan untuk kepentingan masyarakat secara luas, menjadi pondasi utama peran tersebut saat ini atau nanti. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, sekali lagi, perlu pemetaan, perumusan, dan penelaahan metode penerapan fungsi mahasiswa dalam kancah epistemologi keumatan tersebut.
Pasca gerakan reformasi 1997/1998 hingga saat ini terjadi neorosis masa yang cukup signifikan, aksi-aksi mahasiswa terkesan kehilangan comon enemy (musuh bersama). Solidaritas gerakan mahasiswa semakin mencair ke dalam ke-akuan masing-masing. Kampusku, organisasiku, idiologiku, dan keaku-akuan yang lain. Meskipun tidak bisa dipungkiri masih ada beberapa organisasi yang tetap konsisten menjadi corong kepentingan rakyat dengan tetap melakukan aksi-aski turun ke jalan.
Ironisnya, mencairnya gerakan mahasiwa ke dalam internal kampus tidak menjadikan organisasi mahasiswa dapat tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan social society dan memiliki bargaining posisioning dalam mensikapi kebijakan-kebijakan biokrasi kampus dan mengakomodir aspirasi dan menjadi juru bicara mahasiswa.
Kondisi semacam ini semakin diperparah lagi dengan tingkah pola segelintir Mahasiswa yang meng-klaim dirinya sebagai “aktivis kampus” yang justru menjurus kepada pembenaran atas kecendrungan analisa negatif sebagai Mahasiswa lainnya tersebut. Bahkan, sebagian di antaranya cendrung “arogan”, merasa paling intelek dengan tidak menghiraukan keberadaan lingkungan sekitarnya.
“Aktivis Kampus” seperti ini kerap berbicara soal Demokrasi, tapi di saat itu juga cendrung “Otoriter”, memaksakan kehendak dan tidak bisa menerima perbedaan dan pendapat yang lain. Membahas “revolusi”, tapi tidak diimbangi dengn revolusi akhlak dalam dirinya yang masih jauh dari nilai-nilai fitri. Berdebat tentang Konsep Ketuhanan namun tak nampak “sifat-sifat” Tuhan dalam dirinya, seperti rahman, Rahim. Maka kalau kondisi ini terus dibiarkan, maka tidaklah heran organisasi mahasiswa mengalami degradasi dan deteroiorasi dalam skala aksi maupun subtansi. Dan hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan kaderisasi menurun drastis baik kualitas maupun kuantitas.
Kondisi objektif di atas bergulir bagaikan bola salju yang kian membesar dan sulit dicairkan, sehingga memunculkan kelompok mahasiswa terbagi sebagai berikut:
  1. Kelompok Mahasiswa Kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Tipikal dari individu atau kelompok mahasiswa ini dominan melewai hari-harinya di kampus full hanya dengan belajar “Teks Book”, mengerjakan semua yang diperintahkan setiap dosen (baca: dosen) dengan harapan kuliah dapat selesai tepat waktu dan meraih prestasi akademik yang memuaskan sehingga dapat menjadi dongkrak untuk peningkatan karier. Ciri khas utama kelompok ini adalah Indeks Prestasi Komulitatif (IPK)  minded, cendrung eksklusif dan skeptis-apatis terhadap apa pun bentuk aktivitas organisasi mahasiswa, senantiasa berpikir “neraca rugi-laba”, saat diajak ber-organisasi bahkan cendrung subjektif dalam peniliaiannya tentang aktivitas kampus.
  2. Kelompok Mahasiswa Cheerleader. Kelompok atau tipikal individu semacam ini mempunyai beberapa ciri, di antaranya senang meramaikan atau ikut menyemarakkan beberapa kegiatan yang ada di kampus maupun organisasi mahasiswa. Namun, masih “alergi” jika suatu ketika dipercaya untuk mengemban amanah kepemimpinan ataupun kepengurusan dalam sebuah event dan kegiatan sosial keorganisasian. Bagi mahasiswa model ini, berkelompok dan berorganisasi haruslah ada muatan “pesta”, bersenang-senang, sekadar pergaulan dan cendrung tidak mempunyai pendirian yang pasti terhadap pendapat-pendapat yang beredar mengelilingi lingkungan sekitarnya. Siapa yang dekat-akrab, mereka-lah kawan “organisasinya.”
  3. Kelompok Mahasiswa Aktif dengan Organisasinya. Kelompok atau individu dari mahasiswa semacam ini tidak begitu dominan keberadaannya. Secara kuantitatif relatif sedikit, sedangkan dari segi kualitas masih harus dikaji ulang. Eksistensi kelompok atau individu bertipikal semacam ini sepintas aktif dengan segenap organisasi kemahasiwaan yang ada baik yang intra maupun eksra kampus. Bahkan, dari yang sedikit jumlahnya di sini, sebagian di antaranya cendurng “kebablasan”, sehingga ada juga secara tidak sadar melepas statusnya sebagai mahasiswa lantaran “kris moneter” dalam dirinya D-O  (baca Drop Out). Ada juga sebagian diri mereka yang “kehabisan napas” kerena ketidakmampuan me-manage waktu yang dimilikinya, sehingga vacum bahkan berubah menjadi apatis terhadap organisasi mahasiswa. 
  4. Mahasiswa yang aktif ber-organisasi secara konsisten semata-mata memiliki pemahaman bahwa organisasi kemahasiswaan merupakan sebuah sarana yang efektif  dalam meng-kader dirinya sendiri untuk ke depan. Sebagian di antaranya masih mempunyai keyakinan pandangan bahwa kampus merupakan tempat menimba ilmu yang tidak terbatas hanya kepada pelajaran semata.
Dengan bergabung aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bersifat intra ataupun eksra kampus berefek kepada perubahan yang signifikan terhadap wawasan, cara berpikir, pengetahuan dan ilmu-ilmu sosialisasi, kepemimpinan serta menajemen kepemimpinan yang notabene tidak diajarkan dalam kurikulum normatif Perguruan Tinggi. Namun, dalam ber-organisasilah dapat diraih dengan memanfaatkan statusnya sebagai mahasiswa.
Pemahaman arti penting sebuah organisasi dan aktivitas organisasi mahasiswa adalah salah satu persoalan yang pertama-tama harus diluruskan. Adanya anggapan bahwa ber-organisasi berarti berdemonstrasi, atau ber-organisasi khusunya di kampus tidak lebih dari sekadar membuang sebagian waktu, energi, ajang mencari kawan atau mencari jodoh merupakan bukti adanya kesalapahaman tentang presepsi sebagian mahasiswa tentang organisasinya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut maka organsiasi mahasiswa dituntut untuk terus meningkatan kualiatas dirinya. Dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat mahasiswa. Sebagai miniatur pemerintahan negara dalam penyelenggaraan negara yang semestinya dilakukan oleh aparatur negara. Maka, organisasi mahasiwa harus meng-adopsi prinsip-prinsip pemerintahan layaknya dalam sebuah negara dan dikolaborasikan dengan prinsip sebagai organisasi pengkaderan dan perjuangan.
Dengan demikian, satu media yang dapat membentuk kematangan mahasiswa dalam hidup bermasyarakat ialah organisasi. Dengan senantiasa ber-organisasi maka mahasiswa akan senantiasa terus berinteraksi dan beraktualisasi, sehingga menjadi pribadi yang kreatif serta dinamis dan lebih bijaksana dalam persoalan yang mereka hadapi. 



"Sudah saatnya
 Mahasiswa untuk
 Merdeka.
 Jangan selalu dijadikan
 sebagai
 budak-budak dosen yang
 tidak 
 bertanggung jawab".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar