Kamis, 20 Desember 2012

Islam dan Budaya Lokal Sulawesi Selatan

o) Islam dan Budaya Lokal Sulawesi Selatan


1.    Akulturasi Masyarakat Sulawesi Selatan
Masuknya Islam di Sulawesi Selatan tidak menjumpai ruang yang vakum. Masyarakat sudah memiliki apa yang disebut Budaya. Budaya Sulawesi Selatan bersifat Unik dan Khas. Budaya di sinilah yang membedakan orang-orang dan masyarakat Sulawesi Selatan dengan orang-orang dan masyarakat lainnya di Indonesia., dan bahkan masyarakat manapun di Dunia ini. Mengapa Khas, karena budaya itu dibangun oleh masyarakat untuk kepentingan mereka dalam segala aspek kehidupan. Seperti kata Geertz, mengutip Max Weber, “bahwa manusia terikat oleh jaringan-jaringan yang dipintalnya sendiri”. Jaringan-jaringan itu terjalin dari generasi ke generasi (diakronis) sampai pada keadaannya sekarang ini (sinkronis). Karena itu pula, maka studi tentang kebudayaan mengharuskan potret kedua dimensi tersebut (diakronis dan sinkronis).
Sulawesi Selatan sejak dahulu sampai sekarang terbangun dari pola tertentu yang disebut pola budaya atau budaya Sulawesi Selatan. Berbagai studi menunjukkan bahwa budaya Sulawesi Selatan dapat dapat ditemukan dan terangkum dalam konsep  panngaderreng  (Bugis) atau  panngadakkang  (Makassar). Dengan demikian, berarti sesuatu yang menjadi tempat berpijak perilaku dan kehidupan masyarakat Makassar dan Bugis. Panngaderreng  atau  panngadakkang merupakan tumpuan tradisi yang sudah lama ada, yaitu sejak manusia Sulawesi Selatan mulai ada dalam sejarah. Konsep orang Bugis-Makassar mengenai sesuatu  yang tua atau lama disebut  toa. Orangtua disebut  tau toa  atau  tomatoa; Budaya orang Sulawesi Selatan pada awal sejarahnya pun dapat ditemukan dalam  Latoa , sesuatu yang tua, karya Mattulada.
Selain itu, orang Bugis-Makassar menganut konsep  siriq.  Konsep siriq ini mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng . dari hasil penelitian para ahli ilmu-ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep siriq itu meliputi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Bugis-Makassar.
Islam datang memperkaya budaya Sulawesi-Selatan dengan memasukkan unsur baru kedalamnya. Sebagaimana diketahui sebuah budaya akan berkembang manakala budaya itu terbuka terhadap masuknya unsur budaya dari luar. Tanpa itu maka budaya dan masyarakat itu sendiri akan vakum dan tertinggal, bahkan dapat mengalami kepunahan. Islam distu sisi dan kebudayaan lokal disisi lain telah terlibat dalam proses dialog sepanjang sejarah awal datang dan masuknya Islam di Sulawesi Selatan hingga akhirnya terjadi akulturasi dimana keduanya berhasil mencapai tingkat kesepakatan kultural dengan masuknya saraq kedalam  panngaderreng . ini adalah sebuah model kompromi dan akomodatif yang dilakukan kedua belah pihak yang berlangsung pada tingkatan antara Islam dengan aspek-aspek  panngaderreng .

2.    Sikap dan Mental Falsafah hidup Masyarakat Sulawesi Selatan
Diuraikan dalam buku Lontara( catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:
1.      Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp padadipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2.      Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Ajamullebbaiwi, nabokoiko-tu”).
Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
Iamua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao, sungenatu naranreng” (artinya: sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakanuntukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yangakan bicara ialah manyat nyata). Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila iadikecewakan suaminya: “Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu”(artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul) . seperti juga ungkapan peribahasaBugis: “
Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi
” ( artinya: kesankenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul). Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni: jangandipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai iadihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-ciri pegangan hidup seperti: “Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perludisediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi danuntuk itu ia bersedia mati”.
 Falsafah / Pedoman HidupSetiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapilawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaanyang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi ke arahdelapan penjuru (peregi), yakni : mampu menghadapi apapun.Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan sampai di kepulauanMadagaskar. Seperti Ammana Gappa (tokoh pelaut pada zamannya ) yang memiliki dinamika juang hidup ulet, serta mampu melawan tantangan yang dihadapinya.Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:
duai temmallaiseng, tellui temmasarang 
( artinya dua bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tidak terceraikan).Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia ( yang dianggap merupakansuatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga bahagian :
“Botting langi”
( artinya : sumber segala yang mulia) yang mulia dalamkebenaran ,
Alekawa
(artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk dengasegala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain) yang suci sebagai perlambang  “ putih”, dan perlambang merah (api)  yakni 
“Ale”
( artinya badan) dan
“Kawa”
( artinya : yang dapat dicapai)). Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi(Bugis), melambangkan keabadian,lesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri. Perlambangnya hitam.Pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu: Raja Sombaya ( yang disembah)-Tomarilaleng ( yang mewakili raja berbicara)-Tomarilaleng Lolo ( yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan perantara rakyat dengan raja).  Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni: TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar Gowa) bergelar Somba dan Bone bergelar Mangkau. Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain) . living space (“Watampola”) dan bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut “Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel). Adapun ruangan terbagi lagi : Tempat tunggu tamu-tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua, Ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”.
Anak-anak laki-laki yangsudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain. Sebagaimana fungsi angka tiga ( yang punya arti keramat), empat dan delapan juga punya arti. Demikian, maka tiang-tiang (“Alliri”) rumah adat Bugis-Makassar bentuknya bersegi empat atau bersegi delapan.Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” ( soko guru). Dengan tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga). atau laki-laki yang serba bisa atau “WoroanE sulapa eppa” . untuk dapatmenjelajahi delapan penjuru angin, Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atausemesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawantantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya. Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya biasa saja, pada umumnya bersegi empat.
Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru . falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk  berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian masalah SIRIK yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng” (artinya : tegakkan kehormatan, bila perlunyawa dipertaruhkan ). Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad, manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan. Seperti yanga dijelaskan dalam Q.S al-Hujurat (10-13)
(10).orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(11). Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(13). Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
     Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialah kekuatan batin atau prinsip hidup dan toleransi antar umat beragama serta saling menghargai antar sesama manusia (makhluk Tuhan) yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian “duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.

A.  Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan

Agama Islam  masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, pada masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awwalul islam raja Gowa ke-14, Islam secara resmi diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa pada hari Jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau bertepatan pada tanggal 20 September 1605 Masehi. Sedangkan Raja Tallo bergelar Sultan Abdullah. Di antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Sulawesi, antara lain:
  1. Katib Tunggal,
  2. Datuk Ri Bandang,
  3. Datuk Patimang,
  4. Datuk Ri Tiro
  5. Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Salamaka.
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh dan pasukan kerajaan Gowa, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis/Makaasar berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis/Makassar bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Bentuk rumah dan cara hidup orang Bugis banyak kesamaannya dengan Aceh. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

1.    Saksi Bisu Perkembangan Islam di sulawesi selatan
Kabupaten Palopo yang juga dikenal dengan sebutan Luwu' di Sulawesi Selatan, memiliki jejak sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Diperkirakan agama Islam berkembang di Kedatuan Luwu', sekitar abad ke-17.
Setidaknya ada tiga situs utama yang menggambarkan Islam pernah berkembang pesat di daerah ini, yaitu bangunan Mesjid Jami'toa, Istana Dato' Luwu', dan makam Raja-raja Luwu yang terletak dalam satu kawasan di pusat kota Palopo, yang disebut kawasan Ilala'bata, atau kawasan istana raja.
Bangunan Masjid Jami'toa diperkirakan berdiri tahun 1604. Sekilas, bangunan religius ini tampak sederhana, namun sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol penting yang menggambarkan eksistensi Kedatuan Islam Luwu' pada masanya.
Simbol-simbol tersebut antara lain tersirat melalui atap tumpang bersusun tiga. Pada puncak atap terdapat tempayan keramik yang berfungsi sebagai kepala. Ditopang oleh sebuah tiang utama, yang terbuat dari kayu kamoni, atau oleh masyarakat setempat disebut Cina Gori.
Tiga tingkap atap masjid ini melambangkan unsur-unsur keIslaman yang masuk ke Indonesia. Yaitu syari'ah atau amal perbuatan manusia, pada tingkat paling bawah. tingkat kedua melambangkan thariqat, yaitu jalan mencari berkat Tuhan dan tingkat ketiga melambangkan hakekat, yaitu hakikat amal perbuatan seseorang. Dan puncak masjid, diibaratkan ma'rifat yakni mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Tiang utama Masjid Jami' berdiameter 90 centimeter, dan berbentuk segi dua belas yang masing-masing sisinya berukuran 19 senti meter. Kabarnya, serpihan kayu tiang utama Masjid Jami, dapat dibuat untuk ramuan obat-obatan yang menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Oleh karena itu, pengelola masjid membuat semacam selubung kaca untuk melindungi tiang tersebut dari tangan-tangan jahil.
Konstruksi dinding dirancang dengan teknik susun-timbun, terbuat dari balok-balok batu padas dengan ukuran bervariasi. Namun kedalaman pondasi masjid ke dalam tanah, hingga kini masih menjadi misteri rakyat Palopo. Karena setiap digali, tetap masih tampak susunan batunya.
Mihrab masjid, yang berfungsi untuk menentukan arah kiblat, berbentuk agak melengkung menyerupai kubah. Di depan mihrab ditempatkan sebuah mimbar yang berfungsi sebagai tempat khatib berdiri, dengan atap terbuat dari kulit kerang asli. Namun tidak seperti masjid di Jawa pada umumnya, Masjid Jami'toa Palopo tidak memiliki serambi. Pada bentuk aslinya, masjid ini pun tidak memiliki langit-langit. Langit-langit Masjid Jami'toa yang ada saat ini, merupakan bagian yang ditambahkan.
Kesederhanaan hiasan dan arsitektur Masjid Jami' Palopo bertujuan untuk menimbulkan suasana yang kondusif untuk beribadah. Hingga saat ini, Masjid Jami' yang terletak di Jalan Andi Jenna' Nomor 1, Palopo, masih digunakan dan terbuka untuk umum. Renovasi-renovasi terus dilakukan untuk mempertahankan keberadaan masjid kuno Islam Palopo ini.
Situs Islam Kerajaan Luwu' yang kedua adalah Istana Datu' Luwu'. Bangunan ini dipugar dari situs aslinya oleh Belanda pada tahun 1907. Namun bahan-bahan bangunan baru ini, terbuat dari bahan-bahan istana lama yang dipugar. Di dekat istana, terdapat museum yang menyimpan benda-benda peninggalan raja-raja atau Datu' Luwu', hingga benda-benda dan senjata yang dipergunakan pahlawan-pahlawan Palopo pada masa perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda.
Selain itu pula terdapat makam berbentuk kubah, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Luwu', bangsawan, atau orang-orang yang dituakan di Luwu', yaitu orang yang bergelar Opu Daeng Bau. Orang pertama yang dikubur di dalam makam tua ini adalah Datu' Labaso' Langit, Raja Luwu' ke-17, dan dinamai juga Martin Roi Goa.
Kedatuan Islam Luwu' bisa dibilang saling terkait dengan 2 kerajaan besar lainnya di Sulawesi, yakni Gowa dan Bone. Hubungan yang terkait secara emosional ini pula yang memungkinkan Islam masuk ke wilayah Sulawesi.
Bagaimanapun dalam kesederhanaannya, Masjid Jami'toa Palopo dan situs Luwu' lainnya, menjadi saksi betapa kerendahan hati para pemimpin dan segenap rakyat Luwu', telah membawa kemuliaan bagi Kedatuan Islam Luwu
2.    Integrasi Budaya Lokal dengan Nilai Islam di Sulawesi Selatan
Integrasi antara nilai budaya lokal Masyarakat di Sulawesi Selatan dengan nilai Islam yang berlangsung mulus, tak lepas dari proses Islamisasi itu sendiri di daerah ini. Persentuhan antara niklai-nilai budaya lokal yang asing menurut G.E von Grunebaum, Islam menyikapi budaya lokal budaya tersebut melalui 3 cara, yaitu: (1) Mengakomodir nilai budaya lokal memiliki kesejajaran ajaran dengan Islam; (2) Memberi nilai budaya Islam bagi budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nolai Islam dan (3) menolak nilai budaya lokal yang bertentangan denga ajaran Islam. Proses Islamisasi di daerah Sulawesi Selatan yang berjalan mulus dan damai lalu terciptanya integrasi yang utuh antara budaya lokal dngan budaya Islam, juga tidak terlepas dari kepiawaian ulama dalam menyiarkan Islam. Diantaranya peran raja Gowa Tallo dan Khatib tunggal dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan adalah hal yangb tak dapat diragukan sebenarnya. Kedua orang tersebut telah memainkan peranan penting dalam penyebaran ajaran Islam, khususnya dalam pengajaran hukum syariat dan ilmu kalam.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syara, (syariat) Islam bagian integral dalam pangaderreng , maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Bugis-Makassar  memperoleh warna baru, karena syara’ memberikan peranannya dalam berbagai tingkah laku kehidupan sosial budaya. Ketaatan orang Bugis Makassar kepada sara, dengan ketaatan seperti itu terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam (agama) tidak terlalu banyak merubah nilai-nilai, kaedah-kaedah kemasyarakatan dan kebudayaan yang ada.
Apa yang dibawa oleh Islam pada awal datangnya hanyalah urusan-urusan ubudiyah = ibadah dan tidak merubah lembaga-lembaga sosial yang menyangkut kehidupan politik. Semangat keagamaan orang Bugis Makassar tersentuh dengan tepatnya, karena sasaran utama dari pada penyebar Islam pada masa awalnya hanya tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid. Sendi kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia menurt fitrah ajaran Islam, memperoleh bentuk dalam konsep siri’ orang Bugis Makassar yang disesuaikan dengan nilai terdalam dalam kemanusiaan menurut Islam yaitu rahasia kejadian atau sirrin (asrar) yang dalam istilah tasauf berarti bahagian hati manusia yang terdalam.
Integrasi antara budaya lokal di Sulawesi Selatan dengan nilai Islam memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Islam memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai budaya lokal pra Islam. Cukup banyak tantangan pra Islam terdapat pada masyarakat Bugis Makassar, masih tetap berlanjut pada masa Islam telah diterima sebagai agama kerajaan oleh masyarakat Bugis Makassar. Menurut Mattulada tingkah laku masyarakat Bugis Makassar pra Islam dapat dikatakan mendapatkan perlindungan penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangaderrang. Hal yang demikian terjadi benturan tajam antara syariat Islam dengan pangaderrang akan tetapi sejak dari awal sejak dikembangkannya Islam di daerah ini, telah dijaga agar perbedaan-perbedaan yang memungkinkan timbulnya pertentangan tidak terjadi dan agar sistem sosial yang sedang berlangsung tidak menyiarkan Islam dengan demikian perkembangan agama yang baru diterima tersebut memperoleh tempat yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayaan seluruhnya yang terangkum dalam institusi kemasyarakatan pangaderrang . hasilnya lembaga sarana, yang merupakan salah satu pilar-pilar utama pangaderrang yang lain.

Referensi  :

Abd. Rahman Getteng, Azyumardi Azra, “Tantangan Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi”. Integrasi Budaya lokal dengan Nilai-nilai Islam di Sulawesi Selatan, Makassar: PPIM IAIN Alauddin, 2000.
Abd. Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”. Dalam Taufik Abdullah (ed). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali 1983: 323-457
Hatta Walinga, M. K. H. Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya. Skripsi Fakultas Adab IAIN Alauddin Ujungpandang, 1981.
Kadir. Abd.Ahmad, “Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat”, Akulturasi, Hal; xix.
               Omar Mohammad Al-Toumy  Al-syaibany, Falsafah Pendidikan Islam”, Prisip Keenam, Hal; 195

Kamis, 15 November 2012


 Kemerdekaan untuk Mahasiswa

            Mahasiswa adalah seorang pemuda yang mengalami proses belajar  dari suatu pendidikan tinggkat lanjut. Tetapi pertanggung jawaban seorang mahasiswa tidak hanya sebatas untuk itu(belajar, memperoleh nilai baik, dapat juara atau piala) yaitu tanggung jawab terhadap dirinya , jauh dari itu semua, seorang mahasiswa mempunyai tanggung jawab kepada sesamanya yaitu pada masyarakat sekitar dan bahkan pada bangsa hingga dedikasinya kepada  kemaslahatan umat.
          Seharusnya dengan adanya kemerdekaan yang sekarang ini mahasiswa lebih mudah bergerak, namun bukannya seperti cita-cita ideal yang di harapkan( dedikasinya kepada kemaslahatan umat) mahasiswa justru menjadi budak materialisme, bagaimana mereka sibuk berganti-ganti prangkat teknologi dengan alih-alih mengikuti perkembangan sedangkan dipinggiran trotoar jalan banya anak-anak yang belum mengecam pendidikan. Bagaimana mereka sibuk mempercantik diri setiap hari dalam perbudakan kapitalisme tanpa melihat sekitarnya bagaimana orang-orang kelaparan mencari makan setiap harinya.
Mahasiswa indonesia saat ini sangat beragam dari banyak pandangan serta pendapat apabila melihat dari karakter aktivitas organisasinya. Namun sebenarnya mahasiswa Indonesia saat ini kebanyakan dalam menjalankan aktifitas organisasinya terutama organisasi ekstra kampus masih terlihat terjebak dalam patronisme agamanya, golongannya, stigma ideologinya hingga sentimen kedaerahannya. Tak ayal, hal itu cukup membuat repot mahasiswa Indonesia untuk bersatu dalam satu barisan yang sama apabila dihadapkan kepada persolan integrasi gerakan. Ada organisasi ekstra mahasiswa yang berhaluan ideologi islam, kristen, budha, katolik, hindu hingga yang afiliasinya kepada ormas agama besar yang ada di Indonesia. Ada organisasi mahasiswa ekstra kampus yang berhaluan (bahkan bisa disebut sebagai underbow) partai politik atau senioritas figur alumninya. Ada organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bersifat kedaerahan, bahkan ada yang organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bersifat momentum jangka pendek tidak lebih sekedar sebagai basis massa yang mempunyai kepentingan politis tentunya dibuat untuk menopang kepentingan orang seorang maupun segolongan yang memerlukan bargainning political. Diluar semua itu, ada kategori mahasiswa yang murni memposisikan dirinya dalam berorganisasi secara murni dan tanpa ideologi yang kebanyakan lebih menyukai terlibat aktivitas organisasi intra kampus.
Lalu apa yang bisa menyatukan semua tipe atau karakter mahasiswa saat ini? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab. Dan harus kita cari irisan tengahnya yang mampu menjadi pemersatu dan penawar dari sekian banyak warna, bentuk dan kepentingan yang ada saat ini di tingkatan gerakan mahasiswa. Jawabanya adalah mahasiswa yang berorganisasi mengikuti nalar intelektualnya tanpa bertendensi kepada kepentingan golongan, agama hingga sentimen kedaerahan, membangun metoda organisasi secara lebih kekeluargaan namun modern tersistematis, dan mengedepankan aktivitas gerakannya di daerah pedesaan dan masyarakat urban (Bukan berarti kampus ditinggalkan). Melakukan kegiatan-kegiatan yang menjadi pokok kebutuhan masyarakat yaitu pendidikan dan advokasi/paralegal. Disinilah sebenarnya letak peran kaum intelektual sesungguhnya, dialektika yang sebenarnya. Sudah saatnya mahasiswa bergerak dan berhimpun ke desa-desa. Membangun kekuatan civil society yang bercorak kerakyatan. Dan semua itu harus dibangun dalam semangat kerakyatan yang dikerjakan oleh mahasiswa-mahasiswa supel, energik, bersemangat, kapabel, tak mudah menyerah, ikhlas berjuang dan berpendirian teguh.
Mahasiswa pada saat ini merupakan harapan terbesar bagi masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat terutama sebagai perubahan di masyarakat (Agen social of cahange). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan keumatan ke arah berkeadaban.
Keterlibatan mahasiswa dalam setiap perubahan tatanan kenegaraan selama ini sudah menjadi jargon dan pilar utama terjaminnya sebuah tatanan kenegaraan yang demokratis. Romantisme politis antara mahasiswa dengan rakyat terlihat sebagai fungsinya sebagai social control termasuk terhadap kebijakan menindas.
Mahasiswa dalam hal ini sudah menunjukkan diri sebagai salah satu potensi yang dapat diandalkan dalam upaya menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dan distribusinya baik secara kualitas maupun kuantitas dalam segala aspek kehidupan sosial sudah semestinya diperhitungkan.
Bentuk keberhasilan dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berkeadaban di Indonesia adalah dengan semakin kecilnya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, peningkatan taraf ekonomi dan pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, itu semua hanya akan menjadi mimpi belaka manakala semua konsep-konsep yang dibangun dan berbasis kerakyatan tersebut tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan jitu ke arah tujuan tersebut. Dan maksimalisasi fungsi mahasiswa dan kaum muda dalam tiap laju demokratisasi merupakan salah satu pilar utama yang perlu diperhatikan.
Sekali lagi, peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sosial ditunggu. Diharapkan mahasiswa mampu memainkan peran yang strategis. Kesatuan visi, tekad, dan perjuangan untuk kepentingan masyarakat secara luas, menjadi pondasi utama peran tersebut saat ini atau nanti. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, sekali lagi, perlu pemetaan, perumusan, dan penelaahan metode penerapan fungsi mahasiswa dalam kancah epistemologi keumatan tersebut.
Pasca gerakan reformasi 1997/1998 hingga saat ini terjadi neorosis masa yang cukup signifikan, aksi-aksi mahasiswa terkesan kehilangan comon enemy (musuh bersama). Solidaritas gerakan mahasiswa semakin mencair ke dalam ke-akuan masing-masing. Kampusku, organisasiku, idiologiku, dan keaku-akuan yang lain. Meskipun tidak bisa dipungkiri masih ada beberapa organisasi yang tetap konsisten menjadi corong kepentingan rakyat dengan tetap melakukan aksi-aski turun ke jalan.
Ironisnya, mencairnya gerakan mahasiwa ke dalam internal kampus tidak menjadikan organisasi mahasiswa dapat tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan social society dan memiliki bargaining posisioning dalam mensikapi kebijakan-kebijakan biokrasi kampus dan mengakomodir aspirasi dan menjadi juru bicara mahasiswa.
Kondisi semacam ini semakin diperparah lagi dengan tingkah pola segelintir Mahasiswa yang meng-klaim dirinya sebagai “aktivis kampus” yang justru menjurus kepada pembenaran atas kecendrungan analisa negatif sebagai Mahasiswa lainnya tersebut. Bahkan, sebagian di antaranya cendrung “arogan”, merasa paling intelek dengan tidak menghiraukan keberadaan lingkungan sekitarnya.
“Aktivis Kampus” seperti ini kerap berbicara soal Demokrasi, tapi di saat itu juga cendrung “Otoriter”, memaksakan kehendak dan tidak bisa menerima perbedaan dan pendapat yang lain. Membahas “revolusi”, tapi tidak diimbangi dengn revolusi akhlak dalam dirinya yang masih jauh dari nilai-nilai fitri. Berdebat tentang Konsep Ketuhanan namun tak nampak “sifat-sifat” Tuhan dalam dirinya, seperti rahman, Rahim. Maka kalau kondisi ini terus dibiarkan, maka tidaklah heran organisasi mahasiswa mengalami degradasi dan deteroiorasi dalam skala aksi maupun subtansi. Dan hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan kaderisasi menurun drastis baik kualitas maupun kuantitas.
Kondisi objektif di atas bergulir bagaikan bola salju yang kian membesar dan sulit dicairkan, sehingga memunculkan kelompok mahasiswa terbagi sebagai berikut:
  1. Kelompok Mahasiswa Kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Tipikal dari individu atau kelompok mahasiswa ini dominan melewai hari-harinya di kampus full hanya dengan belajar “Teks Book”, mengerjakan semua yang diperintahkan setiap dosen (baca: dosen) dengan harapan kuliah dapat selesai tepat waktu dan meraih prestasi akademik yang memuaskan sehingga dapat menjadi dongkrak untuk peningkatan karier. Ciri khas utama kelompok ini adalah Indeks Prestasi Komulitatif (IPK)  minded, cendrung eksklusif dan skeptis-apatis terhadap apa pun bentuk aktivitas organisasi mahasiswa, senantiasa berpikir “neraca rugi-laba”, saat diajak ber-organisasi bahkan cendrung subjektif dalam peniliaiannya tentang aktivitas kampus.
  2. Kelompok Mahasiswa Cheerleader. Kelompok atau tipikal individu semacam ini mempunyai beberapa ciri, di antaranya senang meramaikan atau ikut menyemarakkan beberapa kegiatan yang ada di kampus maupun organisasi mahasiswa. Namun, masih “alergi” jika suatu ketika dipercaya untuk mengemban amanah kepemimpinan ataupun kepengurusan dalam sebuah event dan kegiatan sosial keorganisasian. Bagi mahasiswa model ini, berkelompok dan berorganisasi haruslah ada muatan “pesta”, bersenang-senang, sekadar pergaulan dan cendrung tidak mempunyai pendirian yang pasti terhadap pendapat-pendapat yang beredar mengelilingi lingkungan sekitarnya. Siapa yang dekat-akrab, mereka-lah kawan “organisasinya.”
  3. Kelompok Mahasiswa Aktif dengan Organisasinya. Kelompok atau individu dari mahasiswa semacam ini tidak begitu dominan keberadaannya. Secara kuantitatif relatif sedikit, sedangkan dari segi kualitas masih harus dikaji ulang. Eksistensi kelompok atau individu bertipikal semacam ini sepintas aktif dengan segenap organisasi kemahasiwaan yang ada baik yang intra maupun eksra kampus. Bahkan, dari yang sedikit jumlahnya di sini, sebagian di antaranya cendurng “kebablasan”, sehingga ada juga secara tidak sadar melepas statusnya sebagai mahasiswa lantaran “kris moneter” dalam dirinya D-O  (baca Drop Out). Ada juga sebagian diri mereka yang “kehabisan napas” kerena ketidakmampuan me-manage waktu yang dimilikinya, sehingga vacum bahkan berubah menjadi apatis terhadap organisasi mahasiswa. 
  4. Mahasiswa yang aktif ber-organisasi secara konsisten semata-mata memiliki pemahaman bahwa organisasi kemahasiswaan merupakan sebuah sarana yang efektif  dalam meng-kader dirinya sendiri untuk ke depan. Sebagian di antaranya masih mempunyai keyakinan pandangan bahwa kampus merupakan tempat menimba ilmu yang tidak terbatas hanya kepada pelajaran semata.
Dengan bergabung aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bersifat intra ataupun eksra kampus berefek kepada perubahan yang signifikan terhadap wawasan, cara berpikir, pengetahuan dan ilmu-ilmu sosialisasi, kepemimpinan serta menajemen kepemimpinan yang notabene tidak diajarkan dalam kurikulum normatif Perguruan Tinggi. Namun, dalam ber-organisasilah dapat diraih dengan memanfaatkan statusnya sebagai mahasiswa.
Pemahaman arti penting sebuah organisasi dan aktivitas organisasi mahasiswa adalah salah satu persoalan yang pertama-tama harus diluruskan. Adanya anggapan bahwa ber-organisasi berarti berdemonstrasi, atau ber-organisasi khusunya di kampus tidak lebih dari sekadar membuang sebagian waktu, energi, ajang mencari kawan atau mencari jodoh merupakan bukti adanya kesalapahaman tentang presepsi sebagian mahasiswa tentang organisasinya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut maka organsiasi mahasiswa dituntut untuk terus meningkatan kualiatas dirinya. Dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat mahasiswa. Sebagai miniatur pemerintahan negara dalam penyelenggaraan negara yang semestinya dilakukan oleh aparatur negara. Maka, organisasi mahasiwa harus meng-adopsi prinsip-prinsip pemerintahan layaknya dalam sebuah negara dan dikolaborasikan dengan prinsip sebagai organisasi pengkaderan dan perjuangan.
Dengan demikian, satu media yang dapat membentuk kematangan mahasiswa dalam hidup bermasyarakat ialah organisasi. Dengan senantiasa ber-organisasi maka mahasiswa akan senantiasa terus berinteraksi dan beraktualisasi, sehingga menjadi pribadi yang kreatif serta dinamis dan lebih bijaksana dalam persoalan yang mereka hadapi. 



"Sudah saatnya
 Mahasiswa untuk
 Merdeka.
 Jangan selalu dijadikan
 sebagai
 budak-budak dosen yang
 tidak 
 bertanggung jawab".

Senin, 12 November 2012

Sebelum ku Menutup Mata


Ketika Hidup akan membawaku berjalan menuju arah yang tak pasti,
disaat itu aku akan mencari Diriku yang sebenarnya.
Tuhan selalu tahu apa yang kuinginkan,
namun belum tentu Tuhan akan mengabulkan apa yang kuinginkan.
Kuberteriak untuk meluapkan keresahan Hatiku kepada langit dan bumi,
namun keduanya tak pernah memikirkan apa yang kurasa.
Kusadari bahwa semua itu hanyalah cobaan,
semuanyapun kujalani dengan penuh kesabaran.

                    Air mata yang seakan membasahi Bumi,
                    penanda bahwa hidup ini tak lama lagi.
                   disaat itu kumaknai hidup ini dengan penuh arti,
                   dan bergegas mendekatkan diri kepada sang Pencipta alam ini.
                   Dengarkan hambaMu ini Tuhan,
                   yang selalu luput kedalam juran kenistaan duniawi.
                   kubersujud dihadapMu dengan kerendahan hati dan keikhlasan,
                   sebelum kumenutup mata beranjak dari dunia ini.







                  Oleh , Z U L K I F L I



                  Senin, 12 November 2012

Selasa, 23 Oktober 2012

 HMI Komisariat Adab Dan Humaniora 
Cabang Gowa Raya


 Himpunan Mahasiswa Islam

Sebelum lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam, terlebih dulu berdiri organisasi kemahasiswaan bernama Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) pada tahun 1946 yang beranggotakan seluruh mahasiswa dari tiga Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yaitu Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam (STI) dan Balai Perguruan Tinggi Gajahmada yang pada waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta selalu berbau Kolial Belanda. Sering pesta dengan poloniase, dansa serta minum-minuman keras.
Oleh karena Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dirasa tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tidak tersalurnya aspirasi keagamaan merupakan alasan kuat bagi para mahasiswa Islam untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berdiri dan terpisah dari Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Pada tahun 1946, suasana politik di Indonesia khususnya di Ibukota Yogyakarta mengalami polarisasi antara pihak Pemerintah yang dipelopori oleh Partai Sosialis, pimpinan Syahrir - Amir Syarifuddin dan pihak oposisi yang dipelopori oleh Masyumi, pimpinan Soekiman - Wali Al-Fatah dan PNI, pimpinan Mangunsarkoro - Suyono Hadinoto serta Persatuan Pernyangannya Tan Malaka. Polarisasi ini bermula pada dua pendirian yang saling bertolak belakang, pihak Partai Sosialis (Pemerintah) menitik beratkan perjuangan memperoleh pengakuan Indonesia kepada perjuangan berdiplomasi, pihak oposisi pada perjuangan bersenjata melawan Belanda.
Polarisasi ini membawa mahasiswa yang juga sebagian besar dari mereka adalah pengurus Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta berorientasi kepada Partai Sosialis. Melalu mereka inilah Partai Sosialis mencoba mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Namun mahasiswa yang masih memiliki idealis tidak dapat membiarkan usaha Partai Sosialis hendak mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Dengan suasana yang sangat kritis dikarenakan Belanda semakin memperkuatkan diri dengan terus-menerus mendatangkan bala bantuan dengan persenjataan modern yang kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 terjadilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda I. Dengan situasi yang demikian para mahasiswa yang berideologi murni tetap bersatu menghadapi Belanda, mencegak setidak-tidaknya mengurangi efek-efek dari polarisasi politik yang sangat melemahkan potensi Indonesia menghadapi Belanda. Karenanya mereka menolah keras akan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap mahasiswa yang dinilai akan mengakibatkan dunia mahasiswa terlibat dalam polarisasi politik.
Berbagai hal ini yang mendorong beberapa orang mahasiswa untuk mendirikan organisasi baru. Meskipun sebenarnya jauh sebelum adanya keinginan untuk mendirikan organisasi baru sudah ada cita-cita akan itu, namun selalu ditunda dan dianggap belum tepat. Namun melihat dari berbagai kondisi yang ada dirasa cita-cita yang sudah lama diharapkan itu perlu diwujudkan karena bila membiarkan Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta lebih lama didominasi oleh Partai Sosialis adalah hal yang tidak tepat. Penolakan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan juga mahasiswa kristen, mahasiswa katolik, serta berbagai mahasiswa yang masih menjunjung teguh ideologi keagamaan.

Awal Berdirinya HMI

Himpunan Mahasiswa Islam di prakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa tingkat I (semester I) Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)). Ia mengadakan pembicaraan dengan teman-temannya mengenai gagasan membentuk organisasi mahasiswa bernafaskan Islam dan setelah mendapatkan cukup dukungan, pada bulan November 1946, ia mengundang para mahasiswa Islam yang berada di Yogyakarta baik di Sekolah Tinggi Islam, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dan Sekolah Teknik Tinggi, untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud tersebut. Rapat-rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa yang di antaranya adalah anggota Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Rapat-rapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan. Namun Lafran Pane mengambil jalan keluar dengan mengadakan rapat tanda undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya. Pada tanggal 5 Februari 1947 (bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H), di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Jalan Setyodiningratan 30 (sekarang Jalan Senopati) Yogyakarta, masuklah Lafran Pane yang langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan : "Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres".
Kemudian ia meminta agar Husein Yahya memberikan sambutan, namun beliau menolak dikarenakan kurang memahami apa yang disampaikan sehubungan dengan tujuan rapat tersebut.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Lafran Pane dalam rapat tersebut adalah :
  • Rapat ini merupakan rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam yang anggaran dasarnya telah dipersiapkan.
  • Rapat ini bukan lagi mempersoalkan perlu atau tidaknya ataupun setuju atau menolaknya untuk mendirikan organisasi Mahasiswa Islam.
  • Diantara rekan-rekan boleh menyatakan setuju dan boleh tidak. Meskipun demikian apapun bentuk penolakan tersebut, tidak menggentarkan untuk tetap berdirinya organisasi Mahasiswa Islam ketika itu, dikarenakan persiapan yang sudah matang.
Setelah dicerca berbagai pertanyaan dan penjelasan, rapat pada hari itu dapat berjalan dengan lancar dan semua peserta rapat menyatakan sepakat dan berketetapan hati untuk mengambil keputusan :
  • Hari Rabu Pon 1878, 15 Rabiulawal 1366 H, tanggal 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI yang bertujuan :
  • Mengesahkan anggaran dasar Himpunan Mahasiswa Islam. Adapun Anggaran Rumah Tangga akan dibuat kemudian.
  • Membentuk Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam.
Adapun peserta rapat yang berhadir adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan), Suwali, Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Mansyur, Siti Zainah (istri Dahlan Husein), Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Selain itu keputusan rapat tersebut memutuskan kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai berikut :
Ketua Lafran Pane
Wakil Ketua Asmin Nasution
Penulis I Anton Timoer Djailani, salah satu pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII)
Penulis II Karnoto Zarkasyi
Bendahara I Dahlan Husein
Bendahara II Maisaroh Hilal
Anggota Suwali
Yusdi Gozali, pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII)
Mansyur

Perkembangan HMI

Sejalan dengan perkembangan waktu, HMI terbelah menjadi dua pasca diselenggarakannya Kongres ke-15 HMI di Medan pada tahun 1983. Pada tahun 1986, HMI yang menerima azas tunggal Pancasila dengan pertimbangan-pertimbangan politis beserta tawaran-tawaran menarik lainnya, rela melepaskan azas Islam sebagai azas organisasnya. Selanjutnya HMI pihak ini disebut sebagai HMI DIPO, dikarenakan bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro Jakarta. Sedangkan HMI yang tetap mempertahankan azas Islam kemudian dikenal dengan istilah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Karena alasan untuk menyelamatkan HMI dari ancaman pembubaran oleh rezim Orde Baru, maka melalui Kongres Padang disepakatilah penerimaan asas tunggal Pancasila. Setelah penerimaan azas tunggal itu, HMI yang bermarkas di Jalan Diponegoro sebagai satu-satunya HMI yang diakui oleh negara. Namun pada Kongres Jambi 1999, HMI (DIPO) kembali ke kepada asas Islam. Namun demikian, HMI DIPO dan HMI MPO tidak bisa disatukan lagi, meski azasnya sudah sama-sama Islam. Perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian yang sangat besar di antara keduanya, membuat kedua HMI ini sulit disatukan kembali. HMI DIPO nampak lebih berwatak akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis, sementara HMI MPO tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Sampai saat ini, HMI merupakan salah satu organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia.