Kamis, 20 Desember 2012

Islam dan Budaya Lokal Sulawesi Selatan

o) Islam dan Budaya Lokal Sulawesi Selatan


1.    Akulturasi Masyarakat Sulawesi Selatan
Masuknya Islam di Sulawesi Selatan tidak menjumpai ruang yang vakum. Masyarakat sudah memiliki apa yang disebut Budaya. Budaya Sulawesi Selatan bersifat Unik dan Khas. Budaya di sinilah yang membedakan orang-orang dan masyarakat Sulawesi Selatan dengan orang-orang dan masyarakat lainnya di Indonesia., dan bahkan masyarakat manapun di Dunia ini. Mengapa Khas, karena budaya itu dibangun oleh masyarakat untuk kepentingan mereka dalam segala aspek kehidupan. Seperti kata Geertz, mengutip Max Weber, “bahwa manusia terikat oleh jaringan-jaringan yang dipintalnya sendiri”. Jaringan-jaringan itu terjalin dari generasi ke generasi (diakronis) sampai pada keadaannya sekarang ini (sinkronis). Karena itu pula, maka studi tentang kebudayaan mengharuskan potret kedua dimensi tersebut (diakronis dan sinkronis).
Sulawesi Selatan sejak dahulu sampai sekarang terbangun dari pola tertentu yang disebut pola budaya atau budaya Sulawesi Selatan. Berbagai studi menunjukkan bahwa budaya Sulawesi Selatan dapat dapat ditemukan dan terangkum dalam konsep  panngaderreng  (Bugis) atau  panngadakkang  (Makassar). Dengan demikian, berarti sesuatu yang menjadi tempat berpijak perilaku dan kehidupan masyarakat Makassar dan Bugis. Panngaderreng  atau  panngadakkang merupakan tumpuan tradisi yang sudah lama ada, yaitu sejak manusia Sulawesi Selatan mulai ada dalam sejarah. Konsep orang Bugis-Makassar mengenai sesuatu  yang tua atau lama disebut  toa. Orangtua disebut  tau toa  atau  tomatoa; Budaya orang Sulawesi Selatan pada awal sejarahnya pun dapat ditemukan dalam  Latoa , sesuatu yang tua, karya Mattulada.
Selain itu, orang Bugis-Makassar menganut konsep  siriq.  Konsep siriq ini mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng . dari hasil penelitian para ahli ilmu-ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep siriq itu meliputi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Bugis-Makassar.
Islam datang memperkaya budaya Sulawesi-Selatan dengan memasukkan unsur baru kedalamnya. Sebagaimana diketahui sebuah budaya akan berkembang manakala budaya itu terbuka terhadap masuknya unsur budaya dari luar. Tanpa itu maka budaya dan masyarakat itu sendiri akan vakum dan tertinggal, bahkan dapat mengalami kepunahan. Islam distu sisi dan kebudayaan lokal disisi lain telah terlibat dalam proses dialog sepanjang sejarah awal datang dan masuknya Islam di Sulawesi Selatan hingga akhirnya terjadi akulturasi dimana keduanya berhasil mencapai tingkat kesepakatan kultural dengan masuknya saraq kedalam  panngaderreng . ini adalah sebuah model kompromi dan akomodatif yang dilakukan kedua belah pihak yang berlangsung pada tingkatan antara Islam dengan aspek-aspek  panngaderreng .

2.    Sikap dan Mental Falsafah hidup Masyarakat Sulawesi Selatan
Diuraikan dalam buku Lontara( catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:
1.      Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp padadipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2.      Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Ajamullebbaiwi, nabokoiko-tu”).
Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
Iamua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao, sungenatu naranreng” (artinya: sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakanuntukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yangakan bicara ialah manyat nyata). Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila iadikecewakan suaminya: “Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu”(artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul) . seperti juga ungkapan peribahasaBugis: “
Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi
” ( artinya: kesankenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul). Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni: jangandipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai iadihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-ciri pegangan hidup seperti: “Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perludisediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi danuntuk itu ia bersedia mati”.
 Falsafah / Pedoman HidupSetiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapilawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaanyang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi ke arahdelapan penjuru (peregi), yakni : mampu menghadapi apapun.Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis-Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan sampai di kepulauanMadagaskar. Seperti Ammana Gappa (tokoh pelaut pada zamannya ) yang memiliki dinamika juang hidup ulet, serta mampu melawan tantangan yang dihadapinya.Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan:
duai temmallaiseng, tellui temmasarang 
( artinya dua bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tidak terceraikan).Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia ( yang dianggap merupakansuatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga bahagian :
“Botting langi”
( artinya : sumber segala yang mulia) yang mulia dalamkebenaran ,
Alekawa
(artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk dengasegala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain) yang suci sebagai perlambang  “ putih”, dan perlambang merah (api)  yakni 
“Ale”
( artinya badan) dan
“Kawa”
( artinya : yang dapat dicapai)). Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi(Bugis), melambangkan keabadian,lesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri. Perlambangnya hitam.Pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu: Raja Sombaya ( yang disembah)-Tomarilaleng ( yang mewakili raja berbicara)-Tomarilaleng Lolo ( yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan perantara rakyat dengan raja).  Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni: TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar Gowa) bergelar Somba dan Bone bergelar Mangkau. Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain) . living space (“Watampola”) dan bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut “Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel). Adapun ruangan terbagi lagi : Tempat tunggu tamu-tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua, Ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”.
Anak-anak laki-laki yangsudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain. Sebagaimana fungsi angka tiga ( yang punya arti keramat), empat dan delapan juga punya arti. Demikian, maka tiang-tiang (“Alliri”) rumah adat Bugis-Makassar bentuknya bersegi empat atau bersegi delapan.Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” ( soko guru). Dengan tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga). atau laki-laki yang serba bisa atau “WoroanE sulapa eppa” . untuk dapatmenjelajahi delapan penjuru angin, Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atausemesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawantantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya. Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya biasa saja, pada umumnya bersegi empat.
Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru . falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk  berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian masalah SIRIK yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng” (artinya : tegakkan kehormatan, bila perlunyawa dipertaruhkan ). Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad, manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan. Seperti yanga dijelaskan dalam Q.S al-Hujurat (10-13)
(10).orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(11). Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(13). Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
     Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialah kekuatan batin atau prinsip hidup dan toleransi antar umat beragama serta saling menghargai antar sesama manusia (makhluk Tuhan) yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian “duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.

A.  Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan

Agama Islam  masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, pada masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awwalul islam raja Gowa ke-14, Islam secara resmi diterima sebagai agama resmi kerajaan Gowa pada hari Jumat tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau bertepatan pada tanggal 20 September 1605 Masehi. Sedangkan Raja Tallo bergelar Sultan Abdullah. Di antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Sulawesi, antara lain:
  1. Katib Tunggal,
  2. Datuk Ri Bandang,
  3. Datuk Patimang,
  4. Datuk Ri Tiro
  5. Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Salamaka.
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh dan pasukan kerajaan Gowa, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis/Makaasar berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis/Makassar bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Bentuk rumah dan cara hidup orang Bugis banyak kesamaannya dengan Aceh. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

1.    Saksi Bisu Perkembangan Islam di sulawesi selatan
Kabupaten Palopo yang juga dikenal dengan sebutan Luwu' di Sulawesi Selatan, memiliki jejak sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Diperkirakan agama Islam berkembang di Kedatuan Luwu', sekitar abad ke-17.
Setidaknya ada tiga situs utama yang menggambarkan Islam pernah berkembang pesat di daerah ini, yaitu bangunan Mesjid Jami'toa, Istana Dato' Luwu', dan makam Raja-raja Luwu yang terletak dalam satu kawasan di pusat kota Palopo, yang disebut kawasan Ilala'bata, atau kawasan istana raja.
Bangunan Masjid Jami'toa diperkirakan berdiri tahun 1604. Sekilas, bangunan religius ini tampak sederhana, namun sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol penting yang menggambarkan eksistensi Kedatuan Islam Luwu' pada masanya.
Simbol-simbol tersebut antara lain tersirat melalui atap tumpang bersusun tiga. Pada puncak atap terdapat tempayan keramik yang berfungsi sebagai kepala. Ditopang oleh sebuah tiang utama, yang terbuat dari kayu kamoni, atau oleh masyarakat setempat disebut Cina Gori.
Tiga tingkap atap masjid ini melambangkan unsur-unsur keIslaman yang masuk ke Indonesia. Yaitu syari'ah atau amal perbuatan manusia, pada tingkat paling bawah. tingkat kedua melambangkan thariqat, yaitu jalan mencari berkat Tuhan dan tingkat ketiga melambangkan hakekat, yaitu hakikat amal perbuatan seseorang. Dan puncak masjid, diibaratkan ma'rifat yakni mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Tiang utama Masjid Jami' berdiameter 90 centimeter, dan berbentuk segi dua belas yang masing-masing sisinya berukuran 19 senti meter. Kabarnya, serpihan kayu tiang utama Masjid Jami, dapat dibuat untuk ramuan obat-obatan yang menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Oleh karena itu, pengelola masjid membuat semacam selubung kaca untuk melindungi tiang tersebut dari tangan-tangan jahil.
Konstruksi dinding dirancang dengan teknik susun-timbun, terbuat dari balok-balok batu padas dengan ukuran bervariasi. Namun kedalaman pondasi masjid ke dalam tanah, hingga kini masih menjadi misteri rakyat Palopo. Karena setiap digali, tetap masih tampak susunan batunya.
Mihrab masjid, yang berfungsi untuk menentukan arah kiblat, berbentuk agak melengkung menyerupai kubah. Di depan mihrab ditempatkan sebuah mimbar yang berfungsi sebagai tempat khatib berdiri, dengan atap terbuat dari kulit kerang asli. Namun tidak seperti masjid di Jawa pada umumnya, Masjid Jami'toa Palopo tidak memiliki serambi. Pada bentuk aslinya, masjid ini pun tidak memiliki langit-langit. Langit-langit Masjid Jami'toa yang ada saat ini, merupakan bagian yang ditambahkan.
Kesederhanaan hiasan dan arsitektur Masjid Jami' Palopo bertujuan untuk menimbulkan suasana yang kondusif untuk beribadah. Hingga saat ini, Masjid Jami' yang terletak di Jalan Andi Jenna' Nomor 1, Palopo, masih digunakan dan terbuka untuk umum. Renovasi-renovasi terus dilakukan untuk mempertahankan keberadaan masjid kuno Islam Palopo ini.
Situs Islam Kerajaan Luwu' yang kedua adalah Istana Datu' Luwu'. Bangunan ini dipugar dari situs aslinya oleh Belanda pada tahun 1907. Namun bahan-bahan bangunan baru ini, terbuat dari bahan-bahan istana lama yang dipugar. Di dekat istana, terdapat museum yang menyimpan benda-benda peninggalan raja-raja atau Datu' Luwu', hingga benda-benda dan senjata yang dipergunakan pahlawan-pahlawan Palopo pada masa perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda.
Selain itu pula terdapat makam berbentuk kubah, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Luwu', bangsawan, atau orang-orang yang dituakan di Luwu', yaitu orang yang bergelar Opu Daeng Bau. Orang pertama yang dikubur di dalam makam tua ini adalah Datu' Labaso' Langit, Raja Luwu' ke-17, dan dinamai juga Martin Roi Goa.
Kedatuan Islam Luwu' bisa dibilang saling terkait dengan 2 kerajaan besar lainnya di Sulawesi, yakni Gowa dan Bone. Hubungan yang terkait secara emosional ini pula yang memungkinkan Islam masuk ke wilayah Sulawesi.
Bagaimanapun dalam kesederhanaannya, Masjid Jami'toa Palopo dan situs Luwu' lainnya, menjadi saksi betapa kerendahan hati para pemimpin dan segenap rakyat Luwu', telah membawa kemuliaan bagi Kedatuan Islam Luwu
2.    Integrasi Budaya Lokal dengan Nilai Islam di Sulawesi Selatan
Integrasi antara nilai budaya lokal Masyarakat di Sulawesi Selatan dengan nilai Islam yang berlangsung mulus, tak lepas dari proses Islamisasi itu sendiri di daerah ini. Persentuhan antara niklai-nilai budaya lokal yang asing menurut G.E von Grunebaum, Islam menyikapi budaya lokal budaya tersebut melalui 3 cara, yaitu: (1) Mengakomodir nilai budaya lokal memiliki kesejajaran ajaran dengan Islam; (2) Memberi nilai budaya Islam bagi budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nolai Islam dan (3) menolak nilai budaya lokal yang bertentangan denga ajaran Islam. Proses Islamisasi di daerah Sulawesi Selatan yang berjalan mulus dan damai lalu terciptanya integrasi yang utuh antara budaya lokal dngan budaya Islam, juga tidak terlepas dari kepiawaian ulama dalam menyiarkan Islam. Diantaranya peran raja Gowa Tallo dan Khatib tunggal dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan adalah hal yangb tak dapat diragukan sebenarnya. Kedua orang tersebut telah memainkan peranan penting dalam penyebaran ajaran Islam, khususnya dalam pengajaran hukum syariat dan ilmu kalam.
Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syara, (syariat) Islam bagian integral dalam pangaderreng , maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Bugis-Makassar  memperoleh warna baru, karena syara’ memberikan peranannya dalam berbagai tingkah laku kehidupan sosial budaya. Ketaatan orang Bugis Makassar kepada sara, dengan ketaatan seperti itu terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam (agama) tidak terlalu banyak merubah nilai-nilai, kaedah-kaedah kemasyarakatan dan kebudayaan yang ada.
Apa yang dibawa oleh Islam pada awal datangnya hanyalah urusan-urusan ubudiyah = ibadah dan tidak merubah lembaga-lembaga sosial yang menyangkut kehidupan politik. Semangat keagamaan orang Bugis Makassar tersentuh dengan tepatnya, karena sasaran utama dari pada penyebar Islam pada masa awalnya hanya tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid. Sendi kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia menurt fitrah ajaran Islam, memperoleh bentuk dalam konsep siri’ orang Bugis Makassar yang disesuaikan dengan nilai terdalam dalam kemanusiaan menurut Islam yaitu rahasia kejadian atau sirrin (asrar) yang dalam istilah tasauf berarti bahagian hati manusia yang terdalam.
Integrasi antara budaya lokal di Sulawesi Selatan dengan nilai Islam memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Islam memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai budaya lokal pra Islam. Cukup banyak tantangan pra Islam terdapat pada masyarakat Bugis Makassar, masih tetap berlanjut pada masa Islam telah diterima sebagai agama kerajaan oleh masyarakat Bugis Makassar. Menurut Mattulada tingkah laku masyarakat Bugis Makassar pra Islam dapat dikatakan mendapatkan perlindungan penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangaderrang. Hal yang demikian terjadi benturan tajam antara syariat Islam dengan pangaderrang akan tetapi sejak dari awal sejak dikembangkannya Islam di daerah ini, telah dijaga agar perbedaan-perbedaan yang memungkinkan timbulnya pertentangan tidak terjadi dan agar sistem sosial yang sedang berlangsung tidak menyiarkan Islam dengan demikian perkembangan agama yang baru diterima tersebut memperoleh tempat yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayaan seluruhnya yang terangkum dalam institusi kemasyarakatan pangaderrang . hasilnya lembaga sarana, yang merupakan salah satu pilar-pilar utama pangaderrang yang lain.

Referensi  :

Abd. Rahman Getteng, Azyumardi Azra, “Tantangan Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi”. Integrasi Budaya lokal dengan Nilai-nilai Islam di Sulawesi Selatan, Makassar: PPIM IAIN Alauddin, 2000.
Abd. Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”. Dalam Taufik Abdullah (ed). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali 1983: 323-457
Hatta Walinga, M. K. H. Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya. Skripsi Fakultas Adab IAIN Alauddin Ujungpandang, 1981.
Kadir. Abd.Ahmad, “Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat”, Akulturasi, Hal; xix.
               Omar Mohammad Al-Toumy  Al-syaibany, Falsafah Pendidikan Islam”, Prisip Keenam, Hal; 195